Text

Sperm DNA Fragmentation and Chromatin Maturation Analysis in Asthenozoospermia Infertile Men.

Latar belakang: Pada keadaan normal, pasangan suami-istri dapat memiliki keturunan. Akan tetapi, terkadang, terdapat gangguan reproduksi pada pihak suami, istri, atau keduanya yang menyebabkan kehamilan tidak terjadi. Hal ini disebut sebagai infertilitas. 1 Etiologi infertilitas laki-laki dapat diketahui dari analisis semen, yang dapat memberikan data mengenai jumlah/konsentrasi, motilitas/gerak, morfologi/bentuk spermatozoa. Akan tetapi, pemeriksaan analisis semen pada pihak laki-laki belum bisa menggambarkan kondisi dari materi genetik spermatozoa. Maka dari itu, kualitas materi genetik spermatozoa, khususnya dalam penelitian ini adalah fragmentasi DNA dan maturasi kromatin spermatozoa, masih perlu dilakukan untuk mengetahui etiologi dari infertilitas dari pihak laki-laki. Metode: Penelitian ini bersifat cross sectional yang menggunakan sisa sampel semen dari pasien Klinik Infertilitas Yasmin Rumah Sakit Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dan responden penelitian; sampel tersebut berjumlah 25 sampel yang terdiri dari 10 sampel normozoospermia sebagai kelompok komtrol dan 15 sampel astenozoospermia sebagai kelompok percobaan. Seluruh sampel tersebut dianalisis untuk mengetahui indeks fragmentasi DNA (IFD)-nya menggunakan SpermFunc® DNA-f kit dan tingkat maturasi kromatinnya menggunakan SpermFunc® Histone kit. Hasil: Mengenai IFD Spermatozoa, rerata pada kelompok normozoospermia adalah 22.47% ± 6.554%, sedangkan kelompok astenozoospermia adalah 25.36% ± 12.261%. Dari data tersebut, perbandingan antara keduanya tidaklah signifikan, dilihat dari nilai p pada uji pearson yang bernilai 0.503. Sementara itu, mengenai tingkat maturasi kromatin spermatozoa, rerata pada kelompok normozoospermia adalah 84.8% ± 6.68%, sedangkan kelompok astenozoospermia adalah 80.53% ± 5.194%. Sama dengan parameter IFD spermatozoa, perbandingan antara tingkat maturasi kromatin spermatozoa pada kedua kelompok juga tidaklah signifikan. Hal ini dilihat dari nilai p pada uji pearson yang bernilai 0.086. Setelah itu, uji korelasi antara IDF spermatozoa dan tingkat maturasi kromatin spermatozoa juga menunjukkan nilai p yang sebesar 0.328. Dari nilai p tersebut dapat dikatakan bahwa tidak adanya korelasi antara kedua parameter. Selain itu, mengenai uji signifikansi kategorisasi pada masing-masing parameter, hasil uji Chi Square pada kategorisasi IFD menunjukkan nilai p sebesar 0.294, sementara kategorisasi tingkat maturasi kromatin menunjukkan nilai p sebesar 0.045. Dari nilai tersebut, dapat dikatakan bahwa hanya kategorisasi tingkat maturasi kromatin yang bersifat signifikan. Kesimpulan: Selain analisis semen, pemeriksaan IDF dan tingkat maturasi kromatin spermatozoa penting dilakukan oleh pihak laki-laki yang mengalami infertilitas. Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui bagaimana kualitas dari materi genetik yang dimiliki oleh spermatozoa yang penting untuk keberhasilan dari pembuahan dan perkembangan embrio janin nantinya. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa tidak adanya perubahan yang signifikan antara IFD dan tingkat maturasi kromatin pada kelompok fertil normozoospermia dan infertil astenozoospermia. Namun, mengingat keterbatasan jumlah sampel pada penelitian ini, hasil penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa IFD dan tingkat maturasi kromatin yang dimiliki oleh pihak laki-laki fertil lebih baik jika dibandingkan dengan laki-laki infertil tetap perlu dipertimbangkan, walaupun kedua parameter tersebut tidak saling berkorelasi.
Kata kunci: Fragmentasi DNA spermatozoa, maturasi kromatin spermatozoa, infertilitas, astenozoospermia.



Introduction: In normal conditions, a husband-wife couple can concieve offsprings. However, sometimes there are reproductive issues on the husband, wife, or both that can make pregnancies not occur. This is called infertility. The ethiology of male infertility can be known from semen analysis that can provide the data on amount/concentration, motility/movement, morphology/form of the spermatozoa. However, the analysis of male semen is yet to picture the material condition of spermatozoa. Thus, the genetic material quality of spermatozoa, specifically in this research is DNA fragmentation and maturation of spermatozoa chromatin, still needed to be known in order to know the exact ethiology of infertile men. Method: This research is cross sectional study which utilizes the emainder of semen samples from patients of Klinik Infertilitas Yasmin Rumah Sakti Pusat Nasional Mangunkusumo (RSCM) Jakarta and research respondents; samples consist of 25 samples which 10 of those are fertile normozoospermic samples that acts as control and 15 samples of infertile asthenozoospermic sampels as experiments. All samples were analyzed to know the DNA Fragmentation Index (DFI) using SpermFunc® DNA-f kit and chromatine maturation percentage using SpermFunc® Histone kit. Result: In terms of DFI spermatozoa, the mean for normozoospermic group is 22.47% ± 6.554%, while in the asthenozoospermic group is 25.36% ± 12.261%. From those datas, the comparison of both groups is insignificant, based on the p number from Pearson Test that shows 0.503. Meanwhile, In terms ofthe chromatine maturation percentage, the mean for normozoospermic group is 84.8% ± 6.68%, while in the asthenozoospermic group is 80.53% ± 5.194%. Same as DFI spermatozoa parameter, the chromatine maturation percentage of spermatozoa on both of the groups is also insignificant. This can be seen from the p number from Pearson Test that shows 0.086. Afterwards, the correlation test between DFI spermatozoan and chromatine maturation percentage of spermatozoa also shows the p number of 0.328. From that p number, we can say that there are no correlation from both of the parameters. For testing the categorization significance in each group with Chi Square Test, the DFI categorization is not significant (p: 0.294), but the chromatine maturation percentage categorization is significant (p: 0.045). Conclusion: Apart from the semen analysis, the DFI and chromatine maturation examinations for spermatozoa are important to be done by males that experience infertility. The goal of this examination is to know the quality of genetic materials that the spermatozoa has for the success of ovulation and embryo growth later on. The results of this research stated that there are no significant changes between DFI and chromatine maturation percentage on fertile normozoospermia and infertile astenozoospermia. However, looking at the limitation of number of samples in this research, the earlier researches results that stated IFD and chromatine maturation owned by fertile males is better compared to infertile males still needed to be considered, even though both parameters is not correlated.
Keywords: Spermatozoa DNA fragmentation, spermatozoa chromatine maturation, infertility, asthenozoospermia

Judul Seri
-
Tahun Terbit
2021
Pengarang

Annisa Andievia - Nama Orang

No. Panggil
S21232fk
Penerbit
Jakarta : Program Pendidikan Dokter Umum S1 Reguler.,
Deskripsi Fisik
xv, 45 hlm. ; 21 x 30 cm
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
NONE
Edisi
-
Subjek
Info Detail Spesifik
-
S21232fkS21232fkPerpustakaan FKUITersedia
Image of Sperm DNA Fragmentation and Chromatin Maturation Analysis in Asthenozoospermia Infertile Men.

Related Collection