Disertasi
Peran faktor genetik dan respons imun pejamu terhadap kandidiasis orofarings pada individu terinfeksi HIV sebelum dan sesudah terapi anti retroviral. = The role of genetic factor and immune response toward oropharyngeal candidiasis among HIV-infected subjects before and after anti retroviral therapy.
Latar belakang: Infeksi HIV masih banyak ditemukan di Indonesia saat ini. Terapi antiretroviral telah merubah morbiditas dan mortalitas pasien terinfeksi HIV, dan juga merubah manifestasi oral HIV/AIDS, termasuk kandidiasis orofarings (KOF). Dalam penelitian ini dieksplorasi peran faktor genetik dan respon imun pasien terinfeksi HIV dengan dan tanpa KOF, sebelum dan sesudah terapi ARV. Metode: Subyek penelitian sebesar 82 pasien terinfeksi HIV, ARV-naïve dengan jumlah sel T CD4+ < 200 sel/μl. Pemeriksaan oral dan pengambilan sampel (saliva dan darah) dilakukan sebelum dan 3 bulan setelah mendapatkan ARV. KOF didiagnosis secara klinis dan dengan kultur; β-defensins, antibodi dan penanda peradangan diukur dengan Elisa; polimorfisme pada gen terkait imunitas diukur dengan PCR, menggunakan pelacak fluoresensi yang spesifik alel. Hasil: Insidens KOF turun dari 57% menjadi 11% setelah ARV, sementara proporsi subyek dengan beban C. albicans tinggi turun dari 81% menjadi 66% dan subyek dengan beban total jamur tinggi turun dari 87% menjadi 73%. Merokok, konsumsi alkohol, oral hygiene dan terapi antijamur tidak mempengaruhi terjadinya KOF sebelum dan tiga bulan setelah mendapat ARV, dan KOF tidak dipengaruhi oleh keasaman saliva, hiposalivasi atau gingivitis/periodontitis. Kandidiasis orofarings ditemukan lebih banyak pada pasien dengan hepatitis atau tuberkulosis paru yang menandakan peran imunitas sistemik dalam mengkontrol kandidiasis. Kadar β-defensin-2 saliva meningkat pada subyek dengan KOF dan/atau beban jamur tinggi setelah tiga bulan mendapat ARV, sementara kadar β-defensin-3 saliva tidak menunjukkan perbedaan. Kadar total IgA and IgA spesifik terhadap C. albicans saliva paling rendah pada subyek dengan KOF dan beban jamur tinggi, sebaliknya, kadar IgG spesifik terhadap C. albicans plasma tinggi pada subyek dengan KOF dan/atau beban jamur tinggi. Kadar sIFNαR, CRP, CXCL10, CCL5 dan CCL2 plasma tidak menunjukkan hubungan dengan KOF. Tidak ada hubungan antara polimorfisme gen yang mengkode IL12 3’UTR, TNF-308, TNF-1031, IL1A+4845, IL10, IL4, TLR2 dengan KOF. Kesimpulan: Disimpulkan bahwa KOF masih menjadi masalah bagi pasien terinfeksi HIV meskipun telah mendapat terapi antijamur, tetapi insidens KOF berkurang setelah pemberian ARV. Data kami menunjukkan IgA saliva mungkin memiliki peran penting dalam mengkontrol KOF pada pasien terinfeksi HIV yang belum mendapat ARV. Kami tidak menemukan bukti bahwa β-defensin atau respon IgG di plasma bersifat protektif.
Kata kunci: HIV, KOF, C. albicans, β-defensin, antibodi, penanda peradangan, polimorfisme genetic.
Background: HIV infection remains common in Indonesia nowadays. Antiretroviral therapy (ART) has altered morbidity and mortality of HIV-infected people, and also altered oral manifestation of HIV/AIDS, including oropharyngeal candidiasis (OPC). Here we explore the role of host genetic factors and immune responses in HIV-infected patients beginning ART. Methods: This study included 82 ARV-naïve HIV-infected patients with < 200 cell/μl CD4+ T-cell. Oral examination and sample collection (saliva and blood) were performed before and 3 months after commencement of ART. OPC was diagnosed clinically and by cultur of fungi, β-defensins, antibodies and inflammatory penandas was assessed by Elisa. Polymorphisms in immune-related genes were assessed following PCR amplification, using allele specific fluorescent probes. Results: The incidence of OPC decreased from 57% to 11% on ART, whlist the proportion of subjects with high C. albicans burden decreased from 81% to 66% and with high total fungal burden decreased from 87% to 73%. Smoking, alcohol consumption, oral hygiene and antifungal therapy did not affect the occurrence of OPC before and on ART, and OPC was not affected by saliva acidity, hyposalivation or gingivitis/periodontitis. However, OPC was more common in patients with hepatitis or pulmonary tuberculosis suggesting a role for systemic immunity in the control of candidiasis. Levels of β-defensin-2 in saliva increased in those with OPC and/or high fungal burden after 3 months on ART, while saliva β-defensin-3 level showed no difference. Saliva total IgA and C. albicans-specific IgA levels were lowest in individuals with OPC and a high fungal burden. In contrast, plasma levels of C. albicans-specific IgG were high in patients with OPC and/or high fungal burden. Plasma sIFNαR, CRP, CXCL10, CCL5 and CCL2 showed no association with OPC. There was no association between polymorphisms in genes encoding IL12 3’UTR, TNF-308, TNF-1031, IL1A+4845, IL10, IL4, TLR2 and OPC. Conclusion: In conclusion, we find OPC remains a problem in HIV patients despite antifungal therapy, but usually resolves on ART. Our data suggest that salivary IgA may be critical for the control of oral fungal infection (notably OPC) in untreated HIV patients. We found no evidence that salivary β-defensins or IgG responses detected in plasma are protective.
Keywords: HIV, OPC, C. albicans, β-defensin, antibody, inflammatory penanda, genetic polymorphisms.
- Judul Seri
-
-
- Tahun Terbit
-
2017
- Pengarang
-
Endah Ayu Tri Wulandari - Nama Orang
Samsuridjal Djauzi - Nama Orang
Patricia Price - Nama Orang
Retno Wahyuningsih - Nama Orang - No. Panggil
-
D17026fk
- Penerbit
- Jakarta : Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran., 2017
- Deskripsi Fisik
-
xxiii, 204 hlm., 21 cm x 30 cm
- Bahasa
-
Indonesia
- ISBN/ISSN
-
-
- Klasifikasi
-
NONE
- Edisi
-
-
- Subjek
- Info Detail Spesifik
-
-
D17026fk | D17026fk | Perpustakaan FKUI | Tersedia |
Masuk ke area anggota untuk memberikan review tentang koleksi